Jumat, 01 Februari 2013

Teori Belajar Humanisme


Teori Humanisme

1)     Hakikat teori Humanisme
Menurut teori humanistik,  tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini beruaha memahami prilaku balajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatannya.Tujuan utama para pendidik adalah membantu sisiwa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu  masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan mambantu dalam mawujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.

 
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan si yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada penertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.

2)     Tokoh teori belajar Humanisme
a). Teori Abraham Maslow
          Abraham Maslow seorang Humanisme yang memfokuskan  perhatiannya pada kebutuhan manusia, yaitu [1]:
(1). Physiological needs atau kebutuhan fisiologis
Mencakup kebutuhan dasar seperti oksigen, air, makanan, protein, dan mineral lainnya, serta kebutuhan akan berbagai vitamin yang diperlukan untuk kelangsungan hidup sehat. Kebutuhan ini juga mencakup kebutuhan beristirahat, terhindar dari berbagai polusi, kebutuhan untuk menghindari diri dari rasa sakit, serta kebutuhan seksual.
(2). Safety needs atau kebutuhan rasa aman,
Kebutuhan ini muncul apabila kebutuhan fisiologis telah terpenuhi. Kebutuhan rasa aman mewujudkan diri dalam bentuk aman dari segala keadaan yang membahayakan, perlindungan dan stabilitas ssosial serta ekonomi.
(3) belonging needs,
Kebutuhan untuk dicintai dan mencintai muncul setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpenuhi, yaitu: mewujudkan diri dalam bentuk kebutuhan untuk memiliki teman hidup, menjadi anggota masyarakat, anggota organisasi social, dan kebudayaan, serta organisasi olahraga.
(4) esteem needs atau kebutuhan untuk dihargai
Kebutuhan untuk dihargai muncul setelah kebutuhan fisiologis, rasa aman dan dicintai dan mencintai terpenuhi. Ada dua bentuk kebutuhan yaitu: (i) kebutuhan tingkat rendah diwujudkan dalam bentuk kebutuhan untuk memperoleh status perhatian kebanggaan dan kekuasaan, (ii) kebutuhan tingkat tinggi, mencakup kebutuhan untuk menghargai diri sendiri yang meliputi kemandirian, kompetensi, pencapaian keberhasilan dan kebebasan.
(5) self- actualization
Pada tahap ini individu mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya sehingga dapat digunakan untuk menghadapi berbagai tantangan dan peluang baru.

b). Teori Carl Roger
Teori ini memandang manusia sebagai arsitek yang tangguh dalam membangun dirinya sendiri. Sebuah metode terapi psikologis yang dikembangkan oleh Roger adalah  Client-centered therapy  yaitu berdasarkan pada keyakinannya bahwa manusia dapat menemukan kekuatan yang ada di dalam dirinya senidiri. Pengetahuan tentang diri sendiri dibentuk melalui berbagai pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya sejak usia dini. Congruence atau penghargaan, penerimaan, dan pujian  yang diberikan oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan individu merupakan bagian dari berbagai pengalaman yang diperlukan untuk memahami diri sendiri dan membangun penghargaan bagi diri sendiri.



[1] Martini Jamaris, Orientasi Baru dalam psikologi Pendidikan (Jakarta: Yayasan Penamas Murni, 2010), hh. 226-228

Tidak ada komentar:

Posting Komentar