Teori Kognitivisme
1)
Hakikat teori Kognitivisme
Teori kognitif pada
hakikatnya adalah teori yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
kemampuan manusia memahami berbagai pengalamannya sehingga mengandung makna
bagi manusia tersebut. Teori kognitif menekankan pada struktur ingatan dan pengetahuan atau skemata terhadap proses
penerimaan, pemerosesan penyimpanan, pemanggilan kembali informasi yang telah
ada di dalam skemata atau tidak dapat memanggil kembali skemata yang telah ada
di pusat memori atau lupa.
Kognitivisme meyakini
bahwa belajar adalah hasil dari usaha individu dalam memaknai
pengalaman-pengalamannya yang berkaitan dengan dunia disekitarnya. Oleh sebab
itu, belajar adalah proses melibatkan individu secara aktif dan seluruh
kemampuan mental digunakan secara optimal. Apa yang dipelajari individu sangat
tergantung dari apa yang telah diketahuinya, dengan demikian pengetahuan yang
ada di dalam skemata atau struktur pengetahuan yang tersimpan di dalam memori
menjadi dasar untuk mempelajari pengetahuan yang baru.
a)
Tokoh teori
belajar Kognitivisme
(1)
Piaget
(1896-1980)
Jean Piaget
merupakan ahli yang menemukan teori perkembangan kognitif. Teori ini
dibangun berdasarkan kombinasi sudut pandang psikologi yaitu aliran structural
dan aliran konstruktif. Psikologi structural yang mewarnai teori kognitif Piaget dapat dikaji dari pandanganya tentang
intelegensi yang berkembang melalaui perkembangan kualitas struktur kognitif.
Aliran konstruktif terlihat dari pandangan Piaget yang menyatakan bahwa anak
membangun kemampuan kognitifnya melalui interaksi dengan dunia sekitarnya.
Hasil interaksi terbentuklah struktur kognitif yang disebut skemata. Yang
dimulai dengan terbentuknya struktur berpikir secara logis, yang kemudian
berkembang menjadi suatu geralisasi atau kesimpulan umum.
Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif
ke dalam 4 fase perkembangan yaitu: (1) fase sensormotor (0-2 tahun), (2) fase
pra operasional(2-7tahun), (3) fase operasi kongkrit (7-11 tahun), (4) fase
operasi formal (11 tahun – sampa dewasa). Menurut Piaget kognitif berkembang
melalui serangkaian proses yang merupakan prinsip perkembangan kognitif, yaitu;
proses asimilasi, akomodasi, dan equilibrium. Proses asimilasi berkaitan dengan
proses penyerapan informasi baru ke dalam informasi yang telah ada di dalam
struktur kognitif yang disebut skemata. Hasil proses asimilasi adalah tanggapan
informaasi atau pengetahaun yang baru diterima. Akomodasi adalah keamampuan
untuk menggunakan informasi atau pengetahuan yang telah ada dalam memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi. Equilibrium terjadi pada saat mengalami
hambatan dalaam melakukanakomodasi pengetahaun dan pengalamannya untuk
mengadaptasi lingkungan sekitar. Untuk mengatasi hal ini, individu mencoba cara
yang lebih komplek apabila cara ini berhasil maka proses equilibrium telah
terjadi dalam dirinya.
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa aspek utama dari teori kognitif yang dikembangkan oleh Piaget
adalah bahwa anak membangun
(2)
Brunner
Menurut Bruner, ada tiga tahap
belajar, yaitu enaktif, ikonik dan simbolik.Berbeda dengan Teori Belajar Piaget
yang telah membagi perkembangan kognitif seseorang atas empat tahap berdasar
umurnya, maka Bruner membagi penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap,
yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik. Bruner memusatkan perhatian
pada masalah apa yang dilakukan manusia terhadap informasi diterimanya dan apa
yang dilakukan setelah menerima informasi tersebut untuk pemahaman dirinya. Teori
Bruner tentang tiga tahap proses belajar berkait dengan tiga tahap yang harus
dilalui siswa agar proses pembelajarannya menjadi optimal, sehingga akan
terjadi internalisasi pada diri siswa, yaitu suatu keadaan dimana pengalaman
yang baru dapat menyatu ke dalam struktur kognitif mereka. Ketiga tahap pada
proses belajar tersebut adalah[1]:
(a)
Tahap
Enaktif.
Pada tahap ini, pembelajaran yang
dilakukan dengan cara memanipulasi obyek secara aktif. Contohnya, ketika akan
membahas penjumlahan dan pengurangan di awal pembelajaran, siswa dapat belajar
dengan menggunakan batu, kelereng, buah, lidi, atau dapat juga memanfaatkan
beberapa model atau alat peraga lainnya. Ketika belajar penjumlahan dua
bilangan bulat, para siswa dapat saja memulai proses pembelajarannya dengan
menggunakan beberapa benda nyata sebagai “jembatan” atau dengan
menggunakan obyek langsung.
(b) .Tahap Ikonik
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap
pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan
(diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau
diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang
terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa menjadi lebih
penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi
dan menggunakan penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan
kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak.
(c) Tahap Simbolik
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak
memanipulasi simbul-simbul atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi
terikat dengan objek-objek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini
sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada
tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol
abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan
orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya
huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun
lambang-lambang abstrak yang lain.
(3) Ausebel
Teori belajar Ausubel
menitikberatkan pada bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya.
Menurut Ausubel terdapat tiga tahap belajar yaitu[2]:
(a)
Derivative Subsumption
Berdasarkan kenyataan bahwa belajar terjadi
pada waktu anak membangun konsep di atas konsep yang telah diketahuinya.
Misalnya apabila anak telah menguasai konsep apel maka konsep itu diperluas
dengan konsep-konsep yang lebih detail yang berkaitan dengan konsep seperti
apel merah, apel hijau, rasa apel: manis, masam, dll. Dengan demikian konsep
apel dapat diterapkan anak ke dalam bentuk dan kondisi yang bervariasi.
(b)
Correlative subsumption
Berkaitan dengan perluasan konsep
pada aspek-aspek terkait dengan konsep-konsep lain. Misalnya anak yang telah
memahami konsep aple dan derivasi konsep apel akan menghubungkan konsep apel
dengan konsep jeruk dan konsep tomat, misalnya bentuknya, permukaan kulitnya,
dan manfaatnya, bahayanya bagi kesehatan manusia.
(c)
Obliterative
subsumption
Berkaitan dengan kemampuan memahami
cara mempelajari konsep dan kaitannya misalnya untuk memahami konsep apel maka
anak perlu memahami karakteristik apel, seperti apel yang baik untuk dibuat
kue, untuk dimakan mentah, dan yang baik untuk dibuat jus.
(4) Gestalt
Teori
kognitif dan gestalt lebih menekankan pada proses mental (proses pemikiran)
yang melatar belakangi kegiatan atau aktivitas belajar. Sudut pandang ini
didasarkan atas aliran strukturalisme dan aspek neurologi sebagai latar
belakang pembentukan teorinya. Kedua teori ini menekankan pada proses sensasi
dan persepsi yang melatar belakangi belajar. Asumsinya, perubahan dalam proses
persepsi merupakan landasan belajar. Proses perseptual dasar bekerja
berdasarkan prinsip-prinsip gestalt yang mencoba untuk menjelaskan bagaimana
individu mengorganisasikan (atau mereorganisasikan) potongan-potongan informasi
menjadi suatu keseluruhan yang lebih punya makna.
Kofka
dalam Martini Jamaris (2010:191-192) melakukan penelitian tentang cara manusia
dalam memahami lingkungannya secara keseluruhan yang pada hakikatnya mencakup
serangkaian aturan: (a) Pragnaz,
berkaitan dengan kecendrungan manusia untuk mengatur stimulus yang tidak
teratur ke dalam suatu pola yang mengandung makna, (b) Similarity, usaha manusia untuk menggabungkan gambar yang terpisah
menjadi gambar yang mengandung arti, (c) Proximity,
berkaitan dengan keadaan apabila manusia menemukan sesuatu benda yang
terpisah-pisah kemudian menyusunnya, dalam menyusunnya ia belum dapat
membayangkan akan menjadi apa susunan tersebut dan ternyata susunan tersebut
membentuk sesuatu yang bermakna. (d) Closure
adalah suatu situasi yang dapat
dianalogikan pada situasi yang terjadi pada waktu individu yang menyusun puzzle
yang telah diurai ke dalam bagian-bagian yang terpisah, maka untuk menyusun
puzzle tersebut menjadi sesuatu yang bermakna ia mengidentifikasi kepingan
puzzle berdasarkan bentuk dan warnanya maka dalam hal ini telah berlaku hokum
yang disebut Closure.(e) Continuation, yaitu tahap demi tahap
yang terjadi pada waktu menemukan Closure sampai membentuk sesuatu yang
bermakna.
(5) Vygotsky
Seperti Piaget,
Vygotsky menekankan bahwa anak-anak secara aktif menyusun pengetahuan mereka.
Akan tetapi menurut Vygotsky, fungsi-fungsi mental memiliki koneksi-koneksi
sosial. Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak mengembangkan konsep-konsep lebih
sistematis, logis, dan rasional sebagai akibat dari percakapan dengan seorang
penolong yang ahli.
1. Konsep Zona Perkembangan Proksimal (ZPD)
Zona Perkembangan Proksimal adalah istilah Vygotsky untuk
rangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak seorang diri tetapi dapat
diipelajari dengan bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak-anak yang
terlatih.
Batas bawah dari ZPD adalah tingkat keahlian yang
dimiliki anak yang bekerja secara mandiri.
Batas atas adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang
dapat diterima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur,
2. Konsep Scaffolding
Scaffolding
ialah perubahan tingkat dukungan. Scaffolding adalah istilah terkait
perkembangan kognitif yang digunakan Vygotsky untuk mendeskripsikan perubahan
dukungan selama sesi pembelajaran, dimana orang yang lebih terampil mengubah
bimbingan sesuai tingkat kemampuan anak.
Dialog adalah alat yang penting dalam ZPD. Vygotsky
memandang anak-anak kaya konsep tetapi tidak sistematis, acak, dan spontan.
Dalam dialog, konsep-konsep tersebut dapat dipertemukan dengan bimbingan yang
sistematis, logis dan rasional.
3. Bahasa dan Pemikiran
Menurut
Vygotsky, anak menggunakan pembicaraan bukan saja untuk komunikasi sosial,
tetapi juga untuk membantu mereka menyelesaikan tugas. Lebih jauh Vygotsky
yakin bahwa anak pada usia dini menggunakan bahasa unuk merencanakan,
membimbing, dan memonitor perilaku mereka.
Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada awalnya
berkembang terpisah dan kemudian menyatu. Anak harus menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi dengan orang lain sebelum mereka dapat memfokuskan ke dalam
pikiran-pikiran mereka sendiri. Anak juga harus berkomunikasi secara eksternal
dan menggunakan bahasa untuk jangka waktu yang lama sebelum mereka membuat
transisi dari kemampuan bicara ekternal menjadi internal.
Jadi inti dari teori Vygotsky
lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam pengembangan intelektual atau
kognitif anak. Vygotsky memandang bahwa kognitif anak berkembang melalui
interaksi sosial. Anak mengalami interaksi dengan orang yang lebih tahu. (
http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/01/teori-piaget-dan-vygotsky/
,
diakses 21 Desember 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar