Jumat, 01 Februari 2013

Teori Kognitivisme


Teori Kognitivisme
1)    Hakikat teori Kognitivisme
Teori kognitif pada hakikatnya adalah teori yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan manusia memahami berbagai pengalamannya sehingga mengandung makna bagi manusia tersebut. Teori kognitif menekankan pada struktur ingatan  dan pengetahuan atau skemata terhadap proses penerimaan, pemerosesan penyimpanan, pemanggilan kembali informasi yang telah ada di dalam skemata atau tidak dapat memanggil kembali skemata yang telah ada di pusat memori atau lupa.

 
Kognitivisme meyakini bahwa belajar adalah hasil dari usaha individu dalam memaknai pengalaman-pengalamannya yang berkaitan dengan dunia disekitarnya. Oleh sebab itu, belajar adalah proses melibatkan individu secara aktif dan seluruh kemampuan mental digunakan secara optimal. Apa yang dipelajari individu sangat tergantung dari apa yang telah diketahuinya, dengan demikian pengetahuan yang ada di dalam skemata atau struktur pengetahuan yang tersimpan di dalam memori menjadi dasar untuk mempelajari pengetahuan yang baru.
    
a)     Tokoh teori belajar Kognitivisme
(1)  Piaget (1896-1980)
Jean Piaget  merupakan ahli yang menemukan teori perkembangan kognitif. Teori ini dibangun berdasarkan kombinasi sudut pandang psikologi yaitu aliran structural dan aliran konstruktif. Psikologi structural yang mewarnai teori kognitif  Piaget dapat dikaji dari pandanganya tentang intelegensi yang berkembang melalaui perkembangan kualitas struktur kognitif. Aliran konstruktif terlihat dari pandangan Piaget yang menyatakan bahwa anak membangun kemampuan kognitifnya melalui interaksi dengan dunia sekitarnya. Hasil interaksi terbentuklah struktur kognitif yang disebut skemata. Yang dimulai dengan terbentuknya struktur berpikir secara logis, yang kemudian berkembang menjadi suatu geralisasi atau kesimpulan umum.
Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif ke dalam 4 fase perkembangan yaitu: (1) fase sensormotor (0-2 tahun), (2) fase pra operasional(2-7tahun), (3) fase operasi kongkrit (7-11 tahun), (4) fase operasi formal (11 tahun – sampa dewasa). Menurut Piaget kognitif berkembang melalui serangkaian proses yang merupakan prinsip perkembangan kognitif, yaitu; proses asimilasi, akomodasi, dan equilibrium. Proses asimilasi berkaitan dengan proses penyerapan informasi baru ke dalam informasi yang telah ada di dalam struktur kognitif yang disebut skemata. Hasil proses asimilasi adalah tanggapan informaasi atau pengetahaun yang baru diterima. Akomodasi adalah keamampuan untuk menggunakan informasi atau pengetahuan yang telah ada dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Equilibrium terjadi pada saat mengalami hambatan dalaam melakukanakomodasi pengetahaun dan pengalamannya untuk mengadaptasi lingkungan sekitar. Untuk mengatasi hal ini, individu mencoba cara yang lebih komplek apabila cara ini berhasil maka proses equilibrium telah terjadi dalam dirinya.
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek utama dari teori kognitif yang dikembangkan oleh Piaget adalah bahwa anak membangun

(2)   Brunner
Menurut Bruner, ada tiga tahap belajar, yaitu enaktif, ikonik dan simbolik.Berbeda dengan Teori Belajar Piaget yang telah membagi perkembangan kognitif seseorang atas empat tahap berdasar umurnya, maka Bruner membagi penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap, yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik. Bruner  memusatkan perhatian pada masalah apa yang dilakukan manusia terhadap informasi diterimanya dan apa yang dilakukan setelah menerima informasi tersebut untuk pemahaman dirinya. Teori Bruner tentang tiga tahap proses belajar berkait dengan tiga tahap yang harus dilalui siswa agar proses pembelajarannya menjadi optimal, sehingga akan terjadi internalisasi pada diri siswa, yaitu suatu keadaan dimana pengalaman yang baru dapat menyatu ke dalam struktur kognitif mereka. Ketiga tahap pada proses belajar tersebut adalah[1]:
(a)   Tahap Enaktif.
Pada tahap ini, pembelajaran yang dilakukan dengan cara memanipulasi obyek secara aktif. Contohnya, ketika akan membahas penjumlahan dan pengurangan di awal pembelajaran, siswa dapat belajar dengan menggunakan batu, kelereng, buah, lidi, atau dapat juga memanfaatkan beberapa model atau alat peraga lainnya. Ketika belajar penjumlahan dua bilangan bulat, para siswa dapat saja memulai proses pembelajarannya dengan menggunakan beberapa benda nyata sebagai “jembatan”  atau dengan menggunakan obyek langsung.
(b)  .Tahap Ikonik
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi dan menggunakan  penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak.
(c)  Tahap Simbolik
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbul-simbul atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.

(3)  Ausebel
Teori belajar Ausubel menitikberatkan  pada bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya. Menurut Ausubel terdapat  tiga tahap belajar yaitu[2]:
(a)   Derivative Subsumption
Berdasarkan kenyataan bahwa belajar terjadi pada waktu anak membangun konsep di atas konsep yang telah diketahuinya. Misalnya apabila anak telah menguasai konsep apel maka konsep itu diperluas dengan konsep-konsep yang lebih detail yang berkaitan dengan konsep seperti apel merah, apel hijau, rasa apel: manis, masam, dll. Dengan demikian konsep apel dapat diterapkan anak ke dalam bentuk dan kondisi yang bervariasi.

(b)   Correlative subsumption
Berkaitan dengan perluasan konsep pada aspek-aspek terkait dengan konsep-konsep lain. Misalnya anak yang telah memahami konsep aple dan derivasi konsep apel akan menghubungkan konsep apel dengan konsep jeruk dan konsep tomat, misalnya bentuknya, permukaan kulitnya, dan manfaatnya, bahayanya bagi kesehatan manusia.
(c)    Obliterative subsumption
Berkaitan dengan kemampuan memahami cara mempelajari konsep dan kaitannya misalnya untuk memahami konsep apel maka anak perlu memahami karakteristik apel, seperti apel yang baik untuk dibuat kue, untuk dimakan mentah, dan yang baik untuk dibuat jus.

(4)  Gestalt
Teori kognitif dan gestalt lebih menekankan pada proses mental (proses pemikiran) yang melatar belakangi kegiatan atau aktivitas belajar. Sudut pandang ini didasarkan atas aliran strukturalisme dan aspek neurologi sebagai latar belakang pembentukan teorinya. Kedua teori ini menekankan pada proses sensasi dan persepsi yang melatar belakangi belajar. Asumsinya, perubahan dalam proses persepsi merupakan landasan belajar. Proses perseptual dasar bekerja berdasarkan prinsip-prinsip gestalt yang mencoba untuk menjelaskan bagaimana individu mengorganisasikan (atau mereorganisasikan) potongan-potongan informasi menjadi suatu keseluruhan yang lebih punya makna.
Kofka dalam Martini Jamaris (2010:191-192) melakukan penelitian tentang cara manusia dalam memahami lingkungannya secara keseluruhan yang pada hakikatnya mencakup serangkaian aturan: (a) Pragnaz, berkaitan dengan kecendrungan manusia untuk mengatur stimulus yang tidak teratur ke dalam suatu pola yang mengandung makna, (b) Similarity, usaha manusia untuk menggabungkan gambar yang terpisah menjadi gambar yang mengandung arti, (c) Proximity, berkaitan dengan keadaan apabila manusia menemukan sesuatu benda yang terpisah-pisah kemudian menyusunnya, dalam menyusunnya ia belum dapat membayangkan akan menjadi apa susunan tersebut dan ternyata susunan tersebut membentuk sesuatu yang bermakna. (d) Closure  adalah suatu situasi yang dapat dianalogikan pada situasi yang terjadi pada waktu individu yang menyusun puzzle yang telah diurai ke dalam bagian-bagian yang terpisah, maka untuk menyusun puzzle tersebut menjadi sesuatu yang bermakna ia mengidentifikasi kepingan puzzle berdasarkan bentuk dan warnanya maka dalam hal ini telah berlaku hokum yang disebut Closure.(e) Continuation, yaitu tahap demi tahap yang terjadi pada waktu menemukan Closure sampai membentuk sesuatu yang bermakna.


(5)  Vygotsky
Seperti Piaget, Vygotsky menekankan bahwa anak-anak secara aktif menyusun pengetahuan mereka. Akan tetapi menurut Vygotsky, fungsi-fungsi mental memiliki koneksi-koneksi sosial. Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak mengembangkan konsep-konsep lebih sistematis, logis, dan rasional sebagai akibat dari percakapan dengan seorang penolong yang ahli.
1. Konsep Zona Perkembangan Proksimal (ZPD)
Zona Perkembangan Proksimal adalah istilah Vygotsky untuk rangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak seorang diri tetapi dapat diipelajari dengan bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak-anak yang terlatih.
Batas bawah dari ZPD adalah tingkat keahlian yang dimiliki anak yang bekerja secara mandiri.
Batas atas adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur,
2. Konsep Scaffolding
Scaffolding ialah perubahan tingkat dukungan. Scaffolding adalah istilah terkait perkembangan kognitif yang digunakan Vygotsky untuk mendeskripsikan perubahan dukungan selama sesi pembelajaran, dimana orang yang lebih terampil mengubah bimbingan sesuai tingkat kemampuan anak.
Dialog adalah alat yang penting dalam ZPD. Vygotsky memandang anak-anak kaya konsep tetapi tidak sistematis, acak, dan spontan. Dalam dialog, konsep-konsep tersebut dapat dipertemukan dengan bimbingan yang sistematis, logis dan rasional.
3. Bahasa dan Pemikiran
Menurut Vygotsky, anak menggunakan pembicaraan bukan saja untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk membantu mereka menyelesaikan tugas. Lebih jauh Vygotsky yakin bahwa anak pada usia dini menggunakan bahasa unuk merencanakan, membimbing, dan memonitor perilaku mereka.
Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada awalnya berkembang terpisah dan kemudian menyatu. Anak harus menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain sebelum mereka dapat memfokuskan ke dalam pikiran-pikiran mereka sendiri. Anak juga harus berkomunikasi secara eksternal dan menggunakan bahasa untuk jangka waktu yang lama sebelum mereka membuat transisi dari kemampuan bicara ekternal menjadi internal.
Jadi inti dari teori Vygotsky lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam pengembangan intelektual atau kognitif anak. Vygotsky memandang bahwa kognitif anak berkembang melalui interaksi sosial. Anak mengalami interaksi dengan orang yang lebih tahu. ( http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/01/teori-piaget-dan-vygotsky/
, diakses 21 Desember 2013)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar