TEORI
BELAJAR BEHAVIORISME
1. Hakikat Teori
Behaviorisme
Behaviorisme merupakan
salah satu pendekatan di dalam psikologi pendidikan yang didasari keyakinan
bahwa anak dapat dibentuk sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang
membentuknya. Dngan kata lain, semua prilaku diperoleh individu setelah
berinteraksi dengan lingkungan yang telah dikondisikan.
2. Tokoh teori belajar Behaviorisme
Teori Behaviorisme
diklesifikasikan ke dalam dua bagian,
yaitu: Classical Conditioning (pengkondisian
lingkungan secara klasik) dan Operant Conditioning
(pembiasaan prilaku respon).Ada beberapa tokoh teori belajar behaviorisme. Tokoh-tokoh aliran
behavioristik Classical Conditioning antaranya adalah Ivan Pavlov, Thorndike, dan Watson. Aliran
Teori belajar Operant Conditioning adalah Burhus Frederic Skinner.
Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis
serta peranannya dalam pembelajaran.
1.
Teori
Belajar Menurut Ivan Pavlov(1849-1936)
Ivan Pavlov pada percobaannya pada seekor anjing. Dengan
memasang stimulus yang menggunakan daging dan bel. Responya air liur anjing.
Yang akan diamati adalah prilaku yang terbentuk
dari pemberian respon yang dikondisikan (hubungan stimulus respon),
yaitu bel berbunyi air liur keluar
walaupun daging tidak diperlihatkan lagi.
Hasil
penemuan Pavlov melalui penelitiannya yaitu: Classical conditioning
merupakan temuan penting di dalam sejarah perkembangan psikologi karena temuan
tersebut meletakkan dasar-dasar behaviorisme psycology. Prinsip-prinsip yang
terdapat dalam classical conditioning masih tetap diterapkan dalam
berbagai modifikasi perilaku di berbagai bidang, seperti bidang pendidikan,
terapi medis, terapi terhadap phobia, anxiety, panic yang berlebihan.
Penerapan classical
conditioning merupakan metode terapi dalam merubah perilaku yang bersifat
maladaptive dan merubahnya menjadi perilaku yang adaptif. Misalnya rasa takut
terhadap pelajaran matematika diubah menjadi rasa senang dengan pelajaran
matematika.
2.
Teori Belajar Menurut
Watson (1878-1958)
Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi
antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia
menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena
tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya
tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi
yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana
dapat diamati dan diukur.
Watson mengembangkan
teori behaviorisme berdasarkan hasil penelitian Pavlov kepada manusia, melalui
proeses pembentukan reflex-reflex yang terbentuk dari hubungan stimulus-respon
yang telah dikondisikan. Oleh sebab itu, ia mendefinisikan manusia tidak
ubahnya seperti mesin yang dapat diatur kegiatannya secara mekanistik.
3. Teori Belajar Menurut Thorndike (1913-1931)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah
laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,
atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme
sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut
pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar
yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek (Law of effect), (2) hukum latihan (Law of exercise), dan (3) hukum kesiapan (Law of Readiness). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal
tertentu dapat memperkuat respon.
4. Teori Belajar Menurut
Burrhus Frederic Skinner(1904-1990)
Konsep-konsep yang
dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah
laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya.
Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena
stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar
stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan
ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang
nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam
memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara
stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon
tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian
seterusnya.
3. Penerapan
Teori Behaviorisme dalam Pendidikan dan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar
pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan
pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar
atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid.
Metode
behaviorisme ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan,
spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya:
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih
anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi
dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung seperti diberi permen atau pujian.
4. Kekuatan dan Kelemahan
Teori Behaviorisme
Teori-teori belajar yang
dikemukakan oleh Pavlov, Thorndike, Watson, dan Skinner secara prinsipal bersifat behavioristic dalam
arti lebiih menekankan timbulnya
perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. teori-teori tersbut terkesan
seperti kinerja mesin atau robot. Teori yang sudah terlanjur diyakini banyak
orang ini tentu saja mengandung banyak kelemahan. Kelemahan teori-teori tersebut adalah[2]:
a. Proses belajar itu
dipandang dapat diamati langsung padahal belajar adalah proses kegiatan mental
yang tidak dapat disaksikan dari luar
kecuali sebagian gejalanya.
b. Proses belajar itu
dipandang bersifat otomatis –mekanis,sehingga terkesan seperti gerakan mesin
dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-regulation
(kemampuan mengatur diri sendiria) dan self
control (pengendalian diria) yang bersifat kogniti, dan karenanya ia bisa
menolak, merespon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau
berlawanan dengan kata hati.
c. Proses belajar manusia
dianalogikan dengan prilaku hewan itu
sangat sulit diterima mengingat amat mencoloknya perbedaan antara karakter
fisik dan psikis hewan.
Sedangkan menurut
Jamaris, kekuatan dan kelemahan Behaviorisme, yaitu:
a. Behaviorisme melakukan
penelitiannya terhadap prrilaku berdasarkan yang tampak atau observable behaviors. Oleh sebab itu
mempermudah proses penelitian karena prilaku dapat dikuantifikasi.
b. Teknik terapi prilaku
yang efektif secara intensif menggunakan intervensi berbasis behaviorisme.
Pendekatan ini sangat bermanfaat dalam merubah perilaku yang mal adaptif
menjadi perilaku adaptif dan dapat diterapkan pada anak dan orang dewasa.
c. Behaviorisme sangat
dikenal dengan pandanganya bahwa
pembelajar adalah individu yang pasif yang bertugas hanya memberi respon kepada
stimulus yang deberikan. Pembentukan prilaku sangat ditentukan oleh penerapan reinforcement atau punishment. Oleh sebab itu belajar didefinisikan sebagai perubahan
perilaku.
d. Behaviorisme
menggeneralisir hasil eksperimen terhadap hewan kepada manusia. Oleh sebab itu
generalisasi tersebut kurang berhasil apabila diterapkan kepada orang dewasa.
Buku sumber: Martini Jamaris, Orientasi Baru dalam Psikologi
Pendidikan (Jakarta: Yayasan Penamas Murni, 2010), h. 153-167
Tidak ada komentar:
Posting Komentar